BAB I
PENDAHULUAN
Secara etimologi, kata
‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal
dengan istilah tajdîd, memiliki makna antara lain; proses, cara,
perbuatan membarui. Sedangkan menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti
dari at-Tajdid dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang
terjadi di dunia Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Kata
yang lebih dikenal dan lebih populer untuk pembaharuan ialah modernisasi. Dalam
masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan
sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan
keadaan baru ditimbulkan pengetahuan modern.
Akan
tetapi pada perkembangan berikutnya, modernisme memiliki arti-arti
negatif di samping arti-arti positif, maka para ilmuan lebih banyak
memakai istilah pembaharuan dalam Islam. Pembaharuan ini mulai terjadi di
dunia Islam pada abad 18 Masehi dan terus berlanjut akibat jatuhnya Mesir
ke tangan kekuasaan Napoleon dari Prancis yang mengakibatkan keinsyafan dunia
Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa Barat telah timbul
peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Maka
raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat Islam kembali dengan cara melakukan pembaharuan dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang adanya Pembaharuan di Mesir
Tumbuhnya
gerakan pembaharuan dalam islam, merupakan wujud dari bentuk kesadaran umat
Islam dari ketertinggalan dan keterbelakangan mereka. Banyaknya persoalan yang
dihadapi umat islam, dari persoalan Intern
seperti adanya penyimpangan ajaran Islam dari ajaran sebenarnya dengan banyak
bermunculan hadis-hadis palsu, sistem pemerintahan otoriter yang dipimpin
khadewi Ismail, serta keadaan sosial keagamaan di Mesir pada saaat itu sangat memprihatinkan
dengan munculnya tahayul, bid’ah dan kurafat. Kemudian ditambah lagi persoalan Ekstern umat yang ditimbulkan dari
tekanan penjajahan bangsa-bangsa Barat yang menuntut segera diatasi dan
dipecahkan masalahanya.
Gerakan
modernisasi dalam dunia Islam dipelopori oleh para tokoh Islam yang berusaha
sekuat tenaga untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar, dan berusaha
kembali untuk memajukan Islam dan umatnya. Para pemimpin islam menyadari
kelemahan, ketertinggalan, dan keterbelakangan dari berbagai aspeknya, setelah
banyak diantara mereka yang berdialog atau berhadapan langsung dengan kemajuan
peradaban bangsa Barat.
Menyadari
kekalahan dan kelemahan dalam berbagai aspek kehidupan dari bangsa-bangsa
Barat, Umat Islam mulai bangkit kembali untuk mengejar ketertinggalan dan
keterbelakangan. Bangsa yang pertama kali merasakan ketertinggalan dan keterbelakangan
itu adalah Turki Utsmani dan Mesir.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya proses pembaharuan pendidikan islam, yaitu:
1. Faktor kebutuhan pragmatis umat
islam yang sangat membutuhkan satu sistem yang betul-betul bisa dijadikan
rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas,
bertakwa, dan beriman kepadaAllah SWT.
2. Agama Islam sendiri melalui ayat
suci Al-Quran banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untukselalu berfikir
serta selalu membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan
atau bisa menciptakan sesuatu yang baru dari apa yang kita lihat.
3. Adanya kontak Islam dengan Barat.[1]
Dan secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi
pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria,
Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah
Timur, terutama India. Napolen Bonaparte menjadikan Mesir, hanya sebagai batu
loncatan saja untuk menguasai India, yang pada waktu itu dibawah pengaruh
kekuasaan kolonial Inggris. Konon, kedatangan Napolen ke Mesir tidak hanya
dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh orang
diantaranya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin,
Arab, Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera,
dan lain sebagainya), serta seribu orang sipil.
Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama
Institut d’Egypte, yang terdiri dari
empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan polititik, serta
ilmu sastra dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon
dalammemerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama)
Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan
peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang
dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam
berbagai bahasa dunia.
Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan
ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran
modern kepada Mesir serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM)
Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Perancis kepada masyarakat
setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, banyak diantara cendekiawan
Mesir belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan,
administrasi, dan arkeologi. Ekspedisi Napoleon ke Mesir membawa angin segar
dan perubahan signifikan bagi sejarah perkembangan bangsa Mesir, terutama yang menyangkut
pembaharuan dan modernisasi pendidikan di sana. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi Perancis banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh Mesir untuk
melakukan perubahan secara mendasar sistem dan kurikulum pendidikan yang
sebelumnya dilakukan secara konvesional.
B. Para Tokoh Pembaharu di Mesir
1.
Al-Thahthawi
(1801-1873)
A.
Riwayat
Hidup Al-Thahthawi
Al-Thahthawi
lahir di Tanta pada tahun 1801 H. Nama kecilnya adalah Rafia’at ibn al-Mahrun
al-Sayyid Badhawi Rafi’ Al-Thahthawi al-Huseini. Beliau wafat pada tahun 1873
di Kairo.[2] Setelah
selesai sekolah di Azhar, ia dikirim Muhammad Ali Pasya ke perancis. Di Paris,
ia belajar bahasa Perancis yang dalam waktu singkat dapat ia kuasai dengan
baik. Dengan kemampuan tersebut, ia membaca dan mempelajari buku-buku sejarah,
filsafat Yunani, ilmu hitung, logika dan bahkan pemikiran para pemikir bangsa
Perancis Abad ke-19, seperti Voltaire, Condillac, Rouseau dan Montesque.[3]
Hal ini menyebabkan ia mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang
keilmuan.
Selama
di Perancis, ia telah menterjemahkan 12 buku penting dalam berbagai bidang
seperti sejarah, pertambangan, akhlak dan adat istiadat, ilmu bumi, teknik,
hak-hak manusia, kesehatan jasmani dan sebagainya.[4]
Hasil karya-karya tersebut menunjukkan bahwa ia mampu dan cakap dalam bidang
penterjemahan. Diantara orang yang dikirim Muhammad Ali Pasha, Al-Thahthawi
tercatat sebagai satu-satunya orang yang mengkhususkan dirinya dalam bidang
penterjemahan.[5]
Kegiatan yang demikian merupakan salah satu yang diperlukan dalam waktu itu.
Ketika Muhammad Ali memerintah di Mesir, Al-Thahthawi memang dimanfaatkan,
bukan hanya untuk kepentingan pemerintah bahkan juga untuk kemajuan rakyat
Mesir.
Sekembali
ke Mesir, Al-Thahthawi diserahkan jabatan sebagai guru bahasa Perancis dan
berbagai jabatan Kepala Sekolah, serta pimpinan Badan Penterjemah Undang-undang
Perancis. Berangkat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman tersebut
turut membentuk wawasan kependidikan Al-Thahthawi. ide tentang kebebasan yang
ia peroleh dari pengalaman di Perancis, kemudian ia susun dalam buku sosial
politik berjudul Takhlish Al-Ibriz ila
Talkhis Baris.[6]
Adapun pemikiran dan ide-ide kependidikan ditulisnya dalam buku al-Musyid al-Amin fi Tarbiyat al-Banin (Pedoman
Tentang Pendidikan Anak).
B.
Pemikirannya
Tentang Pendidikan
1.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Al-Thahthawi adalah untuk pembentukan kepribadian.[7]
Tidak hanya untuk kecerdasan. Lebih dari pada itu, tujuan pendidikan juga
berupaya menanamkan rasa patriotisme. Patriotisme merupakan dasar utama yang
membawa seseorang untuk membangun masyarakat maju.[8]
Wacana patriolisme yang dimaksudkan al-Thahthawi adalah cinta pada tanah tumpah
darah yaitu Mesir, bukan seluruh dunia Islam.[9] Di
samping itu, ia juga menguraikan penekanannya tentang beberapa aspek yang
terpenting yang harus dipelajari pula oleh seorang peserta didik.
a. Melalui
bukunya Takhlis al-Ibriz fi Akhbar Bariz,
ia menyampaikan kepada masyarakat Mesir bagaimana kehidupan demokrasi yang ada
di masyarakat Perancis, khususnya kota Paris, sebagai bahan banding bagi
kehidupan di Mesir yang otoriter. Ia berupaya menyadarkan masyarakat Mesir
bahwa dengan kehidupan yang demokratis (walaupun bukan muslim) masyarakat
Paris. Dengan kehidupan demokratis, masyarakat Paris dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka melalui pengetahuan, keterampilan, serta sikap hidup yang
mereka miliki. Dengan demikian, bangsa Mesir yang belum maju diharapkan dapat
mencontoh kemajuan masyarakat Paris.[10]
b. Dalam
bukunya yang berjudul Manahij al-Albab
al-Mishriyyat fi Manahij al-Adab al-Ashriyyat, memuat ide-ide pembaharuannya
dalam bidang perekonomian. Buku ini disusunnya dengan tujuan untuk mendorong
masyarakat Mesir untuk menumbuh-kembangkan perekonomian yang sidasarkan atas
fungsi dan peranan agama. Menurutnya, masyarakat manusia mempunyai tujuan,
yaitu menjalankan perintah Allah dan mencari kesejahteraan hidup di dunia.
Kesejahteraan hidup yang dimaksud adalah kesejahteraan. Kesejahteraan akan
dapat tercapai melalui tiga cara, yaitu: berpegang kepada ajaran agama, berbudi
pekerti yang baik dan memiliki kemajuan di bidang ekonomi.[11]
c. Selanjutnya
pada bukunya yang berjudul al-Qaul al-Sadiq fi al-Ijtihada wa al-Taqlid dan
Anwar al-Taufiq al-Jalil fi Akhbar Mishr wa Tautsiq Bani Isma’il, memuat
anjurannya untuk melakukan ijtihad guna kemajuan bangsa Mesir. Ia berpendapat
bahwa usaha untuk menyesuaikan syariat dengan keadaan-keadaan yang baru
merupakan hal yang penting. Hukum-hukum Islam harus diberikan interpretasi baru
sesuai dengan tuntutan kehidupan modern. Hal ini dilakukan agar ulama mengerti
dunia modern dan dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan masyarakat modern.
Umat Islam harus bersifat dinamis dan meninggalkan sifat statis.[12]
Menurutnya,
ada dua bentuk persaudaraan, yaitu persaudaraan Islam dan persaudaraan tanah
air. Mana yang lebih penting di antara kedua ini bagi al-Thahthawi tidak jelas.
Tapi perkembangan dalam dunia Islam selanjutnya membuat persaudaraan setanah
air lebih kuat dari persaudaraan keIslaman. Kata-kata watan dan hub al-watan
kelihatan selalu dipakai oleh al-Thahthawi dalam buku kedua dan ketiga. Ketika
seorang melaksanakan kewajiban terhadap tanah air termasuk mengadakan
persatuan, tunduk kepada undang-undang, serta sedia mengorbankan harta dan
diri. Di antara hak-hak yang terpenting bagi seseorang warga negara ialah
kemerdekaan. Melalui kemerdekaan, manusia dapat mewujudkan masyarakat yang
sejati dan patriotisme yang kokoh. Patriotisme yang dimaksudkan bukan cinta
pada dunia Islam, bukan pula Arab, tetapi patriotism territorial, cinta pada
Mesir sebagai tanah kelahirannya. Jadi dari sinilah muncul benih kebangsaan
(nasionalisme).
2.
Kurikulum
Kurikulum
untuk tingkat pendidikan dasar terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis
yang sumbernya adalah al-Qur’an, nahu dan dasar-dasar berhitung.[13]
Kurikulum sekolah tingkat menengah (tajhizi)
terdiri atas: pendidikan jasmani dan cabang-cabangnya, ilmu bumi, sejarah,
mantiq, biologi (zoology, botani dan genologi), fisika, kimia, manajemen, ilmu
pertanian, mengarang, peradaban, dan sebagian bahasa asing yang bermanfaat bagi
Negara.[14]
Sedangkan kurikulum untuk tingkat menengah atas (‘lliyah) mata pelajaran terdiri atas mata pelajaran kejuruan. Mata
pelajaran tersebut diberikan secara mendalam yang meliputi: fiqh, kodokteran,
ilmu bumi dan sejarah.[15]
Lebih jauh al-Thahthawi menganjurkan bahwa para ulama sebaiknya menguasai
ilmu-ilmu pengetahuan modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan
kebutuhan-kebutuhan modern di zamannya.[16]
Sekalipun
ia tidak secara jelas mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka, namun dari
pendapattersebut cukup tersirat. Bila ulama memahami dunia modern, maka mereka
akan terdorong untuk berfikir tentang hukum-hukum syari’at yang selama ini
mereka fatwakan. Al-Thahthawi juga menerangkan dalam buku syarat-syarat dan
bentuk-bentuk ijtihad dalam Islam pada masa lampau.
Menurut
al-Thahthawi, kemajuan Barat bukan merupakan sesuatu yang membahayakan.
Kebangkitan Perancis dan Eropa bukan untuk kekuatan politik dan ekspansi,
melainkan semata-mata demi ilmu pengetahuan dan kemajuan bidang materi. Mesir
harus mengambil pengetahuan modern tersebut karena pengetahuan Barat pada
mulanya merupakan pengetahuan Islam. Langkah yang diambil, sesungguhnya berarti
Mesir telah mengambil kembali kepunyaannya sendiri. Caranya yang terbaik adalah
melalui pergaulan atau mengundang mereka datang ke Mesir untuk mengajarkan
ilmu-ilmu yang mereka miliki.[17]
Dari
paparan diatas, terlihat betapa luasnya kurikulum yang harus dipelajari oleh
peserta didik. Kurikulum yang ditawarkan bukan saja ilmu-ilmu syari’at, tetapi
juga ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedang untuk pendidikan perempuan,
al-Thahthawi menganjurkan agar kurikulum untuk pendidikan kaum perempuan
terdiri atas pelajaran membaca, menulis, berhitung dan berbagai keterampilan
seperti: menyulam dan menjahit.
3.
Jenjang
dan Pola Pendidikan
Al-Thahthawi
menyampaikan ide-idenya tentang pola pendidikan sebagai berikut:
a. Pola
pendidikan yang ditawarkan meliputi:
1) Pendidikan
yang bersifat universal, pendidikan harus diberikan kepada segenap golongan
masyarakat. Di samping itu, pendidikan diberikan untuk segala tingkatan usia
tanpa membedakan jenis kelaminnya. Dari pemikiran ini tampaknya al-Thahthawi
berpendapat bahwa masyarakat yang terdidik akan lebih mudah dibina dan
sekaligus dapat menghindarkan diri masing-masing pengaruh negative.
Pemikirannya tersebut dapat dinilai sebagai rintisan bagi pemikiran pendidikan
yang bersifat universal yang sekarang terkenal dengan istilah “education for all”.
2) Pendidikan
untuk kaum perempuan. Ide pendidikan al-Thahthawi mengenai pendidikan kaum
perempuan dikaitkannya dengan fungsi perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Menurutnya, pendidikan bagi kaum ibu dimaksudkan agar:
a) Perempuan
dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi mitra suami dalam kehidupan
sosial dan intelektual.
b) Agar
perempuan sebagai istri memiliki keterampilan untuk bekerja dalam batas-batas
kemampuan mereka sebagai perempuan. Dengan adanya keterampilan yang demikian,
sebagai ibu rumah tangga, perempuan akan dapat memanfaatkan waktu luangnya
dengan berbagai kegiatan yang berfaedah.[18]
c) Pendidikan
untuk kepentingan bangsa. Menurut al-Thahthawi, pendidikan bukan hanya terbatas
pada kegiatan untuk mengajarkan pengetahuan. Akan tetapi, pendidikan juga akan
diarahkan untuk membentuk kepribadian dan menanamkan patriotism (hub
al-wathan).
b. Struktur
Pendidikan. Thahthawi membagi struktur pendidikan menjadi tiga tingkatan yaitu:
Tingkat pendidikan permulaan, Tingkat pendidikan menengah dan Tingkat
pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir.
Walaupun
pemikiran al-Thahthawi belum dapat diwujudkan seluruhnya pada masa itu, namun
ia telah membuat suatu terobosan yang akan diikuti oleh para modernis
sesudahnya.
2. Jamaluddin
Al-Afghani
A. Riwayat
Hidup Jamaludin al-Afghani (1839-1897)
Jamaluddin lahir di Afghanistan pada
tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897. Ketika baru berusia
22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun
kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Dalam
pada itu Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Al-Afghani memilih pihak
yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afghani
merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat kelahirannya dan pergi ke India di
Tahun 1869.
Di India ia juga merasa tidak bebas
bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, dan oleh
karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan memusatkan
perhatian persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada
bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat ia tinggal menjadi tempat pertemuan
murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Disanalah ia memberikan kuliah dan
mengadakan diskusi.
Menurut keterangan Muhammad Salam
Madkur,[19]
para peserta terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan,
dosen-dosen, mahasiswa dari Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi lain, dan
juga pegawai-pegawai pemerintah. Diantara murid-murid Al-Afghani itu ada yang
kemudian menjadi pemimpin di Mesir seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaglul,
pemimpin kemerdekaan Mesir.
Tetapi ia
tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur
tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Untuk dapat bergaul
dengan orang-orang politik di Mesir ia memasuki perkumpulan Freemason
Mesir. Di antara anggota perkumpulan ini Putra Mahkota Taufik.
B. Pembaharuan
di Bidang Politik
Ketika
kembali ke lapangan politik dan Al Afghani berusaha memasuki perkumpulan
Freemason Mesir, ia pun menyiarkan ide-ide baru melalui buku-buku terjemahan dan
karangannya sehingga mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan patriotisme.
Telah matang
waktunya untuk membentuk suatu partai politik, maka pada tahun 1879 atas usaha
Al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizab
al-Watani (Partai Nasional).
Slogan “Mesir untuk orang Mesir” mulai kedengaran. Tujuan partai ini
selanjutnya ialah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan memasukkan
unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer.
Atas sokongan
partai ini Al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa di Waktu
itu, yakni Khadewi Ismail, untuk diganti dengan Putra Mahkota Taufik. Yang
tersebut akhir ini berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang
dituntut Al-Hizab
al-Watani. Tetapi setelah
menjadi Khadewi, Taufik, atas tekanan Inggris mengusir Al-Afghani keluar dari
Mesir di Tahun 1879.
Masa delapan
tahun menetap di Mesir itu menurut pihak Mesir sendiri mempunyai pengaruh yang
tidak kecil bagi umat Islam di sana. Menurut M.S. Madkur, Al-Afghanilah yang
membangkitkan gerakan berfikir di Mesir sehingga Negara ini dapat mencapai kemajuan.
“Mesir Modern”, demikian Madkur, “adalah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin
Al-Afghani”.[20]
Melihat
kepada kegiatan politik yang demikian besar di daerah yang demikian besar di
daerah yang demikian luas, dari Mesir hingga Eropa pada tempatnyalah kalau
dikatakan bahawa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik dari pada
pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam. Tidaklah salah kalau Stoddard [21] mengatakan bahwa ia sedikit sekali memikirkan
masalah-masalah agama dan sebaliknya memusatkan pemikiran dan aktivitas dalam
bidang politik. Dan tidak pula mengherankan kalau Goldziher[22]
memandang Al-Afghani terutama sebagai tokoh politik dan bukan sebagai pimpinan
pembaharuan dalam soal-soal agama.[23]
Tetapi dalam
pada itu tak boleh dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan Al-Afghani
sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Kegiatan
politik itu timbul sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-ppemikirannya
tentang pembaharuan. Ia pada hakikatnya adalah sekaligus pemimpin pembaharuan
dan pemimpin politik.
Pemikiran
pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah yang sesuai untuk
semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada pertentangan
antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan
perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi
baru tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam
Al-qur’an dan Hadis. Untuk interprestasi itu diperlukan ijtihad dan pintu
ijtihad baginya terbuka.
Kemunduran karena telah meninggalkan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan di atas kertas. Sebagian dari
ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang mempunyai keyakinan-keyakinan
yang menyesatkan dan sebagian lain lagi oleh hadis-hadis buatan. Paham Qada dan
Qadar umpamanya, telah dirusak dan diubah menjadi fatalisme, yang membawa umat
Islam kepada keadaan statis. Qada dan Qadar sebenarnya mengadung arti bahwa
segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab musabab. Kemauan manusia
merupakan salah satu dari mata rantai sebab musabab itu. Di masa yang silam
keyakinan pada qada dan qadar serupa ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam
jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karena
percaya pada qada dan qadar inilah maka umat Islam di Masa yang silam bersifat
dinamis dan dapat menimbulkan perubahan yang tinggi.[24]
Suatu sebab lain lagi ialah salah
pengertian tentang maksud. Hadis yang mengatakan bahwa umat Islam akan
mengalami ke munduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak
berusaha mengubah nasib mereka.
Sebab-sebab kemunduran yang bersifat
politis ialah perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintah
absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tak dapat
dipercayai, mengabaikan maslah pertahanan militer, menyerahkan adminitrasi
negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing.
Lemahnya rasa persaudaraan Islam juga
merupkan sebab bagi kemunduran Umat Islam. Tali persaudaraan telah terputus,
bukan di kalangan awam, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ualam Turki tidak
kenal lagi pada ulama Hejaz, demikian pula ulama India tidak mempunyai hubungan
dengan ulama Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah
terputus.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat
Islam, menurut Al-Afghani, ialah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang
dianut umat pada umunya, dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang
sebanarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali, dan
demikian. Pula kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpedoman
pada ajaran-ajaran dasar, umat Islam akan dapat bergerak maju mencapai
kemanjuan.
Corak pemerintah otokrasi harus diubah
dengan corak pemerintah demokrasi. Kepala negara harus mengadakan syura
dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman.
Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam dalam
pendapat Al-Afghani menghendaki
pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat
dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-undang dasar.
Di atas segala-galanya persatuan umat
Islam mesti di wujudkan kembali. Dengan bersatu umat Islam mesti di wujudkan
kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerja sama yang erat umat Islam akan
dapat kembali memperoleh kemajuan. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi
yang amat penting dalam Islam.
Semasa hidupnya Al-Afghani memang
berusaha untuk mewujudkan persatuan itu. Yang terkandung dalam ide Pan-Islam
ialah persatuan seluruh umat Islam. Tetapi usahanya tidak berhasil.
Bagaimanapun ide-indenya banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh tentang
pembaharuan dalam Islam. Dan Abduh, sebagai gurunya juga, mempunyai pengaruh
besar di Dunia Islam. Beberapa Kontribusi Al-Afghani, antara lain:
Pertama,
Perlawanan
terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap
penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India
pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di
bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua,
upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat
ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora
dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan
kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran
terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu
lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari
situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan
bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan
ajaran-ajarannya.
Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa
letak kebesaran Al-Afghani bukanlah sebagai pemikir. Melainkan terutama pada
perannya sebagai pernbangkit kesadaran politik umat dalam menghadapi Barat dan
memberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia ini.[25]
3.
Muhammad
Abduh
A.
Riwayat
Hidup Muhammad Abduh (1849-1905)
Muhammad
abduh lahir di Mesir pada tahun 1849. Pada tahun 1862, ia belajar agama di
mesjid Syekh Ahmad di Thanta. Semula ia sangat enggan belajar, tetapi Karena
dorongan paman ayahnya Syekh Darwis Khadar, Abduh akhirnya dapat menyelesaikan
pelajarannya di Thanta. Kemudian ia melanjutkan pelajaran di Universitas
al-Azhar dan menamatkannya pada tahun 1877. Ketika di al-Azhar, ia memperoleh
pengalaman yang paling berkesan dari gurunya Syekh Hasan al-Thawil dan Syekh
Muhammad al-Basyuni. Masing-masing sebagai guru mantiq dan balaghah. Selain
itu, ia sempat berkenalan dan menjadi murid Jamal al-Din al-Afghani, ia
mempelajari filsafat. Dengan kemampuan intelektualnya, memungkinkan ia menulis
di harian al-Ahrym sejak awal
didirikan.[26]
Dari
perjalanan pengalaman yang diperoleh, mendorong Abduh memilih bidang pendidikan
sebagai media pengabdian ilmunya dan sekaligus menjadikan pendidikan sebagai
tempatnya melontarkan ide-ide pembaharuannya. Dalam melihat dinamika dan wacana
yang digagasnya, terlihat demikian jelas pengaruh Jamal al-Din al-Afghani
terhadap pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh.[27]
Dinamika
ide-ide pembaharuannya yang demikian dinamis seringkali bertentangan dengan
kebijakan penguasa pada waktu itu. Untuk itu, dalam menghembuskan ide-idenya,
acap kali Abduh harus berhadapan dengan berbagai fitnahan yang mengakibatkan ia
dihukum. Di antara konsekuensi ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang
menangkap dan membuangnya ke luar negeri karena diindikasikan penguasa waktu
itu sebagai salah satu tokoh yang ikut dalam revolusi Urabi Pasya pada 1882. Pada
tahun 1884, ia diminta oleh al-Afghani untuk datang ke Paris dan bersama-sama
menerbitkan majalah al-Urwat al-Wusqa. Pada tahun 1885, ia pergi ke Beirut dan
mengajar di sana. Akhirnya, atas bantuan temannya (diantaranya seorang Inggris)
pada tahun 1888 ia kemudian diizinkan pulang ke Kairo. Di sini, ia kemudian
diangkat sebagai hakim. Pada tahun 1894, ia menjadi anggota majelis al-A’la
al-Azhar dan telah banyak memberikan kontribusi bagi pembaharuan di Mesir
(al-Azhar) dan dunia Islam pada umumnya. Kemudian pada tahun 1899, ia diangkat
sebagai mufti. Mesir dan jabatan ini diemban sampai ia meninggal pada tahun
1905 dalam usia kurang lebih 56 tahun.
B.
Pemikiran
Pendidikan
Sebagai
seorang pembaharu (modernis), ide dan
pemikiran Abduh mencakup dalam berbagai bidang. Menurut al-Bahiy, pemikiran
Abduh meliputi: segi politik dan kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan
serta aqidah dan keyakinan. Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun
bila diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih
menitikberatkan (concern) pada bidang
pendidikan.[28]
Di antara pemikirannya
tentang pendidikan dapat dilihat pada penjelasan data historis berikut:
1.
Sistem
dan Struktur Lembaga Pendidikan
Dalam pandangan Abduh, ia melihat bahwa
semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku diseluruh dunia
Islam bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang
demikian lebih banyak dampak negative dalam dunia pendidikan. Sistem madrasah
lama akan menghasilkan ilmu pengetahuan modern, sedangkan sekolah pemerintah
mengeluarkan tenaga ahli yang tidak mempunyai visi dan wawasan keagamaan.
Dengan melakukan lintas disiplin ilmu
antar kurikulum madrasah dan sekolah maka jurang pemisah antara golongan ulama
dan ilmuan modern akan dapat diperkecil. Pembaharuan pendidikan ini dilakukan
dengan menata kembali struktur pendidikan di al-Azhar, kemudian di sejumlah
institusi pendidikan lain yang berada di lembaga pendidikan al-Azhar, maka
pendidikan di dunia Islam akan mengikutinya. Sebab menurut pertimbangannya,
al-Azhar merupakan tambang dan panutan pendidikan Isalm di Mesir (secara
khusus) dan dunia Islam umumnya ketika itu.
2.
Kurikulum
a. Kurikulum
al-Azhar
Kurikulum perguruan
tinggi al-Azhar disesuaikannya denagn kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam
hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke
dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar out-putnya dapat menjadi
ulama modern.[29]
b. Kurikulum
Sekolah Dasar
Ia beranggapan bahwa
dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak.
Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua
mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama (Islam)
merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa
kepribadian muslim, rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan
nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus
dapat meraih kemajuan.[30]
c. Kurikulum
Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan
Ia
mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam
berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan
sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu untuk memasukkan
beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan
islam.
Di
madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar, Abduh mengajarkan ilmu
mantiq, falsafah dan tauhid, sedangkan selama ini al-Azhar memandang ilmu
mantiq dan falsafah itu sebagai barang haram. Dirumahnya Abduh mengajarkan pula
kitab Tahzib al-Akhlak susunan Ibn
Maskawayh, dan kitab Sejarah Peradaban Eropa susunan seorang Perancis yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul al-Tuhfah al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun al Mamalik al-Awribiyah.[31]
C.
Metode
Muhammad
Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dengan metode hafalan, rational dan
pemahaman (Insight). Siswa disamping
menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya. Ia juga
menghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan dan
menjauhkan metode taklid buta terhadap para ulama. Ia juga mengembangkan
kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab
yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang
berkembang yang dapat dipergunakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan
modern ke dalam bahasa Arab.
Selain
itu Abduh juga telah membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan
al-Qur’an yang didasarkan kepada lima prinsip, yaitu:
1. Menyesuaikan
peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an.
2. Menjadikan
al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
3. Menjadikan
surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
4. Menyederhanakan
bahasa dalam penafsiran.
5. Tidak
melalaikan peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat yang turun
pada waktu itu.[32]
D.
Reinterpretasi
Pengetahuan Agama Islam
Umat
islam menurut Abduh harus kembali ke ajaran Islam yang berkembang pada masa
Klasik semula, yaitu dikembalikan seperti ajaran yang pernah dilakukan di zaman
Salaf, para sahabat dan ulama-ulama Islam. Ia berpendapat bahwa keadaan umat
Islam pada waktu itu (di zaman Abduh) telah jauh berubah dari keadaan umat
Islam di masa lampau. Untuk menyesuaikan ajaran Islam yang murni dengan kondisi
dunia modern, maka perlu dilakukan suatu interpretasi baru. Karena itu perlu
dilakukan ijtihad. Dengan demikian taklid kepada pendapat lama tak perlu
dipertahankan., bahkan harus diperangi, karena taklid telah menyebabkan umat
Islam mundur dalam berbagai aspek kehidupan.[33]
Menurut
pandangan Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu
ijtihad, maka dinamika akal dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus
dimajukan di kalangan rakyat, sehingga mereka dapat berlomba dengan msyarakat
barat. Apabila Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan dipahami secara benar, tak
satupun dari ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Akal
adalah salah satu dari potensi manusia, dan Islam sangat menganjurkan untuk
menggunakan akal. Iman menjadi kurang sempurna tanpa didasarkan atas akal. Wahyu
tidak menjelaskan hal-hal yang bertentangan dengan akal. Karena itu, jika
secara lahiriah sebuah ayat tampak bertentangan dengan akal, maka harus dicari
interpretasi, sehingga ayat lebih dapat dipahami secara rasional. Akan tetapi,
meskipun demikian, tatkala proses interpretasi telah dilakukan dan ternyata
bertentangan dengan akal, maka akal harus tunduk pada kebenaran wahyu.[34]
4.
Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935)
Rasyid rida adalah murid Muhammad
abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-qalamun, suatu desa di
libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syria). Menurut keterngan
ia berasal dari keturunan al-husain, cucu nabi Muhammad saw. Oleh karena itu ia
memakai gelar al-sayyid di depan
namanya. Semasa kecil ia dimasukan kemadrasah tradisionaldi al-qalamun untuk
belajar menulis berhitung dan membaca alquran. Di tahun 1882, ia meneruskan
pelajaran di madrasah al-wataniah al-islamiah(sekola nasional islam) di
Tripoli. di madrasah ini, selain dari bahasa arab diajarkan pula bahasa turki
dan prancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah
ini didirikan oleh syaikh Husain al-jisr, seorang ulama islam yang telah di
pengaruhi ole hide-ide modern. Di masa itu sekolah-sekolah misi Kristen telah
mulai bermunculan di Syria dan banyak menarik perhatian orang tua untuk
memasukan anak-anaknya untuk belajar di sana. Dalam usaha menandingi daya yarik
sekolah sekolah misi Kristen maka syaikh husan al-jisr mendirikan sekolah
nasional islam tersebut. Karena mendapat tantangan pemerintah kerajaan asmani,
umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid rida meneruskan pelajaranya
di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu hubungan
dengan syaikh Husain al-jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi
pembimbimng baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak di pengaruhi ole
hide-ide jamaludin al-afghanidan Muhammad abduh melalui majalah al-urwah
al-wusqa. Ia berniat mengabungkan dirinya dengan al-afgani di astambul tetapi
niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad abduh berada dalam pembuangan di
Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid
al-afgani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan
muhammah abduh meningalkan kesan yang baik bagi dirinya. Pemikiran-pemikiran
pembaharuan yang di peroleh dari syaik Husain al-jisr dan yang kemudian
diperluas lagi dengan ide-ide al-afgani dan Muhammad abduh amat mempengaruhi
jiwanya.
Pada
masa kecil M. Rasyid Ridha belajar di madrasah tradisional di al-qalamun .
kemudian M. rasyid ridha melanjutkan belajar ke sekolah al-rosyidiyah. Pada
tahun 1882M, M rasyid ridha melanjutkan belajar ke madrasah al-wathaniyyah di
Tripoli. Madrasah al-wathaniyyah didirikan dan diasuh oleh syekh husein
al-jisr, seorang ulama yang memiliki wawasan dan pengalaman modern. Syekh
husein al-jisr adalah guru utamanya yang membimbing dan menempa kepribadian
awal M. Rasyid Ridha sehingga berwawasan modern.[35]
Selanjutnya M. Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan
jamaluddin dan M. Abduh melalui majalah al-Urwahal-Wutsqa. Dibidang keagamaan,
pemikiran M. Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh al-Ghazali melalui kitab Ihya’ Ulumuddin.[36]
Pada
tahun 1898 M. M. Rasyid Ridha bertemu dengan M. Abduh, dan pada itu juga M.
Abduh dan Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manar sebagai media pembaharuan
Islam. Tijuan majalah al-manar sama dengan majalah al-Urwah al-Wutsqa, yaitu
mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, social, ekonomi, memberantas tahayul
dan bid’ah, meluruskan paham-paham yang keliru tentang Islam, menigkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam dari permainan politik Negara-negara Barat.[37]
Adapun
karya M. Rasyid Ridha antara lain: Tafsir Al-manar, nida’ li al-jism, yusr
al-Islam wa Ushul al-Tusry al-A’lam, al-wahyu al-Muhammady tarikh al-Ustadz
al-Imam al Syekh Muhammad Abduh, al-Khilafat wa al-Imamt al-‘Idzma, Syubuhat
al-Nashara wa al-hujjah al-Islam, al-wahabiyyat wa al-Hijaz dll.
M.
Rasyid Ridha aktif dalam kegiatan politik, pembaharuan dan dakwah. Pada tahun
1921 M, M. Rasyid Ridha Menghadiri konferensi Islam di Mekkah dan di Yerusalem
pada tahun 1931 M. pada tahun 1920 M, M. Rasyid Ridha menjabat sebagai presiden
kongres suria, kemudian anggota komite politik di kairo pada tahun 1925-1926 M.
pada tahun 1917 M. M. Rasyid Ridha mendiikan Madrasah al-Dahwat al-Iad sebagai
sekolah kader da’i.[38]
A.
Ide-ide
Pembaharuan Muhammad Rasyid Ridha
a.
Pada
bidang keagamaan
Ide-ide
pembaharuan M. Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan ide-ide pembaharuan ibnu
Taymiyyah, M. Abd. Wahab. Jamaluddin al-Afghani dan Muhmmad Abduh. Yaitu
kemunduran dan keterbelakangan umat Islam di sebabkan di sebabkan karena umat
islam tidak lagi melaksanakan ajaran islamyang benar dan faham fatalis telah
melanda umat islsm. Disamping itu juga disebabkan karena ajaran-ajaran tarekat
yang berlebihan, sikap yang mengkhususkan syekh tarekat secara berlebihan,
munculnya bid’ah, khurafat, fanatic mazhab dll.
Menurut
M. Rasyid Ridha upaya memajukan untuk memajukan umat Islam adalah dengan cara
memahami ajaran Islam dengan baik dan memadukan ajaran-ajaran spiritual agama
dengan masalah duina. Di samping itu juga, umat Islam harus dinamis, kreatif
dan aktif.
M.
Rasyid Ridha menganjurkan umat Islam untuk meninggalkan sikap fatalis dan
menggantinya dengan sikap sikap jihad, kreatif, dinamis, dan aktif serta
memfungsikan akal manusia. Beliau juga mengatakan bahwa ajaran Islam itu tidak
bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru dengan mengambil ilmu
pengetahuan modern dan teknologi barat merupakan mengembalikan khazanah dan
peradaban umat Islam yang telah hilang. M. Rasyid Ridha juga menganjurkan untuk
meninggalkan sikap fanatisme dalam menggunakan Mazhab, dengan bertoleransi
terhadap perbedaan pandangan dalam mazhab.
b.
Bidang
Pendidikan
Ide-ide pembaharuan dalam bidang pendidikan M.
Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh gurunya Syekh Husein al-Jisr dna M. Abduh.
Pemikiran M. Rasyid Ridha di bidang pendidikan meliputi:
a) Pembaharuan
di bidang sistem pendidikan, bahwa beliau menginginkan perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki
dalam memperoleh pendidikan.
b) Pembaharuan
di bidang struktur pendidikan, beliau membuat perjenjangan/tingkatan dalam
pendidikan.
c) Pembaharuan
di bidang metode pendidikan, M, Rsyid Ridha menekan perkembangan metode
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman.
d) Pembaharuan
dibidang kurikulum, dengan menambah ilmu pengetahuan umum di samping ilmu
pengetahuan agama di madrasah-madrasah tradisional.
Bentuk
konkrit dari ide pembaharuan M. Rasyid Ridha dalam pendidikan adalah dengan
mendirikan Madrasah al-Dawat Irsyad pada tahun 1912 M, di kairo. Adapun tujuan
pendidikannya adalah upaya untuk membina manusia yang dinamis dalam mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat secara integrative.
c.
Bidang
Politik Kenegaraan
Ide
pembaharuan M. rasyid Ridha dalam bidang politik kenegaraan adalah dengan
menganjurkan pembentukan Negara dalam bentuk Kekhalifahan. Menurut beliau
Negara yang berbentuk kekhalifahan adalah Negara yang berlandaskan prinsip persaudaraan Islam dan mengahpuskan
ikatan-ikatan rasial serta menyusun persatuan umat Islam dalam satu komunitas.
Adapun tujuan khalifah menurut beliau adalah untuk menegakkan suatu
pemerinyahan yang berdasarkan musyawarah, membangkitkan kembali peradaban Islam
dan mengadakan pembaharuan dalam Islam dengan membasmi segala macam Khurafat
dan bid’ah.
Pembaharuan
yang dilakukan oleh M. Rasyid Ridha teryanta berpengaruh terhadap perkembangan
dan kemajuan umat Islam, tidak hanya di mesir saja akan tetapi sampai ke seluruh
dunia. Seperti di Indonesia, Maroko dll.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa
modernisme dalam masyarakat Muslim bersumber dari Eropa atau Barat umumnya.
Modernisme bermula ketika Barat melakukan penetrasi militer, kultural dan
intelektual ke berbagai kawasan masyarakat Muslim. Sehubungan dengan pemikiran
Muslim dalam menghadapi modernisasi, telah banyak produk pemikiran yang telah
dihasilkan. Seperti yang telah dibahas dalam makalah di atas, terlihat jelas
satu pemikir dengan pemikir lainnya masing-masing memiliki perbedaan cara
pandang, wawasan, dan produk pemikirannya.
Reaksi akan selalu
muncul dari kalangan Muslim kebanyakan sebagai konsekuensi dari gagasan baru
mereka, seperti yang dialami Muhammad Abduh dan teman-teman. Inilah harga yang
harus dibayar bila kita mengambil pilihan kemajuan umat di bidang pemikiran
dibanding pilihan kestabilan dengan akibat stagnasi.
Namun kalau kita
analisis secara cermat, semua pemikiran ini akan berakhir pada satu muara,
yaitu bagaimana cara terbaik untuk membebaskan kaum muslim dari kemunduran dan
keterbelakangannya.
Daftar
Pustaka
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, t.t.
Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Saefuddin, Didin, Pemikiran Modem dan Postmodern Islam:
Biografi Intelektual 17 Tokoh, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003
al-Bahiy,Djarnawi, Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka
Pandji Mas, 1986.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2003
______, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Jalaludin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1994
Madjid, Nurcholish, Khazanah
Intelehtual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Mengenal
Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia). Ciputat: PT. Ciputat Press
Group, 2005
Susanti, Reni, Pemikiran Modern Dalam Islam, Curup: LP2 STAIN Curup, 2011., hal.,
107
Asmuni, Yusran,
Pengantar Studi Pemikiran dan gerakan
pemabaharuan dalam Dunia Islam, PT Jakarta: Raja Grafindo, 1998.
[1]
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam.Jakarta: Prenada Media, 2005 hal.
165
[2] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan.Bulan Bintang, Jakarta: 1975 hal., 42
[3] Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Mengenal
Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia). PT. Ciputat Press Group, Ciputat:
2005. Hal., 36
[4] Harun Nasution. Op, Cit., hal. 43
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar. Op,Cit.,Hal. 37
[6] Ibid., Hal. 37
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid., hal., 38
[10] Harun Nasution, op.cit., hal. 46
[11] Ramayulis dan Samsul Nizar. Op,Cit., Hal. 38-39
[12] Muhammad Munir Mursyi, op.cit., hal. 290
[13] Ibid., Hal. 289
[14] Ibid.,
[15] Harun Nasution, op.cit., hal. 49
[16] Ramayulis dan Samsul Nizar. Op,Cit., Hal., 40
[17] Ibid .,hal., 41
[18] Ibid., hal., 42
[19] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan.Bulan Bintang, Jakarta: 2003 hal. 44
[21] Ibid.,hal.
46
[22] Ibid.,
[23]
Didin Saefuddin, Pemikiran Modem dan postmodern Islam:
Biografi Intelektual 17 Tokoh, PT
Gramedia Widiasarana, Jakarta:, 2003 hal., 10
[24] Ibid., hal. 47
[25] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelehtual Islam,
Bulan Bintang, Jakarta:
1984. hlm. 87
[26] Harun Nasution, op.cit., hal. 61
[27] Ramayulis dan Samsul Nizar. Op,Cit., Hal., 45
[28] Djarnawi al-Bahiy. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka
Pandji Mas, 1986. Hal. 64
[29] A. hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, t.t. hal.
156-157
[30] Abdul Sani. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal. 53
[31] Jalaludin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1994. Hal.
156
[32] Harun Nasution, op.cit., hal. 65
[33] Ibid., hal. 62-63
[34] Harun Nasution, op.cit., hal. 68
[35] Reni Susanti, Pemikiran Modern Dalam Islam, LP2 STAIN
Curup, Curup: 2011., hal., 107
[36]Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan gerakan pemabaharuan dalam
Dunia Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta :, 1998., Hlm., 83
[37] Harun Nasution, Op,Cit., Hlm. 70
[38] Reni Susanti, Op,Cit., hlm., 108
casino - DrmCD
BalasHapusCasino - 창원 출장샵 a gaming company located in Las Vegas, Nevada. No information 창원 출장샵 is available for this page.Learn why · Uploaded 제주도 출장샵 by Hotel 출장샵 Nevada - 영주 출장샵 Hotels & Casinos