Thalaq Dalam
Pandangan Islam
1.
Pertengkaran Adalah Hal Yang Lumrah Terjadi
Setiap pasangan suami istri di dunia ini
pastilah mengalami pertengkaran atau konflik. Bahkan meski rumah tangga seorang
nabi sekalipun. Kalau penyebabnya bukan dari pihak suami, mungkin saja dari
pihak istri. Atau mungkin juga datang dari pihak luar.
Selain
perbedaan pendapat, mungkin saja pertengkaran disebabkan karena kekhilafan yang
sangat manusiawi. Jalan keluar dari khilaf apabila dilakukan oleh seorang istri
bukan thalaq, paling tidak, thalaq itu bukan alternatif yang harus dipilih
pertama kali. Thalaq harus ditempatkan pada posisi paling akhir dalam setiap
alternatif jalan keluar dari setiap persengketaan rumah tangga.
Sebelum wacana tentang thalaq boleh
digelar, ada kewajiban untuk melewati tahap-tahap sebelumnya, seperti nasehat,
hukuman baik dalam bentuk pisah ranjang atau pun pukulan yang tidak
menyakitkan. Termasuk meminta bantuan pihak ketiga untuk ikut menyelesaikan
konflik antara keduanya. Bila semua alternatif tadi kandas karena masalahnya
memang sulit dipecahkan, barulah boleh digelar wacana terakhir yang berfungsi
sebagai katup penyelamat, yaitu thalaq.
1.1.
Nasehat
Dan
kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan
menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga,
diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang
bijaksana.
1.2.
Pisah Ranjang
Kalau
cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur
sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara.
Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.
1.3.
Pukulan
Kalau
ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan,
tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab
untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu.
Maksud
memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang
dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi
kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan
sebagai berikut:
`Andaikata tidak ada qishash
(pembalasan) kelak di hari kiamat,
niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini.`
(Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)
Tetapi
Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau
bersabda sebagai berikut:
`Mengapa salah seorang di antara kamu
suka memukul isterinya seperti memukul
seorang hamba, padahal barangkali dia
akan menyetubuhinya di hari lain?!`(Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang
mirip dengan itu)Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini,
Rasulullah
s.a.w. mengatakan:
`Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai
orang yang baik di antara kamu.` (Hadis
ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa`i dan
disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi
Dzubab).
Ibnu
Hajar berkata: `Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara
kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa secara garis besar memukul itu
dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang
tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup
dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan
yang cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan.
Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru
bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam
kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan
kepada Allah.Imam Nasa`i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a` sebagai
berikut:
`Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul
isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri,
melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah
dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.`
1.4.
Libatkan Pihak Ketiga (hakim)
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan
sangat dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka
waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk
mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang hakim dari keluarga laki-laki dan
seorang hakim dari keluarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan.
Diharapkan dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan
memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada kedua
suami-isteri.
Perihal
ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
Dan perempuan-perempuan yang kamu
kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di
tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan
kamu cari-cari jalan untuk menceraikan
mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu
merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah
hakim dari keluarga laki-laki dan
seorang hakim lagi dari keluarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah
akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha
Mengetahui.` (QS. An-Nisa`: 34-35)
2.
Perceraian Adalah Pilihan Terakhir
Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai
lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan
memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi
panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untukmemecahkan
problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut
thalaq.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki
cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal
yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:
`Perbuatan
halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq.`
(Riwayat Abu Daud)
`Tidak
ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq.` (Riwayat Abu
Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah
memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan
semata-mata karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan
perpisahan antara suami-isteri.
Tetapi
dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah
dan hukum-hukum perkawinan.
Dalam satu pepatah dikatakan: `kalau
tidak ada kecocokan, ya perpisahan.`
Tetapi firman Allah mengatakan:Dan jika
(terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan
kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya. (QS. An-Nisa`: 130)
Islam Membatasi
Persoalan Talaq
Meski ada peluang untuk melakukan
thalaq, namun pada hakikatnya syariat Islam telah meletakkan beberapa ikatan
yang membendung jalan yang akan membawa kepada perceraian, sehingga terbatas
dalam lingkaran yang sangat sempit.
Thalaq
bukanlah perbuatan yang boleh dikerjakan begitu saja. Sebab perbuatan itu
adalah perkara halal namun dibenci Allah. Seolah ada kesan ingin
mengharamkannya, namun masih tetap dibolehkan dengan catatan ada tingkat
keperluan yang sulit dihindari Di antara hal-hal yang mempersempit kesempatan
untuk melakukan thalaq adalah sebagai berikut :
1.
Diharamkan Thalaq Yang Tanpa Alasan Kuat
Oleh karena itu talaq yang dijatuhkan
tanpa suatu alasan yang mengharuskan dan tanpa meninjau jalan-jalan lain
seperti yang kami sebutkan di atas, adalah talaq yang diharamkan dalam Islam.
Sebab talaq seperti itu --sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli fiqih--
cukup membahayakan, baik pada dirinya sendiri maupun pada isterinya. Sedang
mengabaikan maslahah yang sangat diperlukan untuk kedua belah pihak tanpa ada suatu
kepentingan yang mengharuskan, hukumnya haram, seperti merusak harta benda.
1.1.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
Tidak
boleh membuat bahaya dan membalas bahaya.
(Riwayat Ibnu Majah dan Thabarani dan lain-lain)
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang
yang suka berselera dan suka mencerai isteri, adalah satu hal yang samasekali
tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.
1.2.
Rasulullah bersabda,
Aku
tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka kawin
cerai. (Riwayat Thabarani dan Daraquthni)
1.3.
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang
suka
kawin cerai dan perempuan-perempuan yang suka
kawin
cerai. (Riwayat Thabarani)
1.4.
Abdullah bin Abbas juga berkata: Talaq itu hanya dibenarkan karena suatu
kepentingan.`
2. Mencerai
Waktu Haidh (Talaq Bid`iy)
Apabila
ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang
muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka,
tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat itu --menurut
yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih,
yakni tidak datang bulan, baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis
disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut
jelas dalam keadaan mengandung,Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas,
mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya.
Barangkali karena terhalangnya atau
ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si
suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian
bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu
disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai
isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah
bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari
suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui
bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup
senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Tetapi bila si perempuan itu dalam
keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil,
maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan
yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa
mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai
isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka
bertanyalah Umar kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab Nabi kepada Umar:
`Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya
kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan
suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah,
sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu
hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi
iddah, yaitu di dalam keadaan suci.`
Di satu riwayat disebutkan: Perintahlah
dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali,
kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung.` (HR. Bukhari)
Akan
tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau
tidak?Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si
pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak
sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara` dan tidak
dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan:
Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya:
bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan
kepada si penanya tentang kisahnya
ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah s.a. w. niengembalikan
isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun.`
(Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih)
3. Bersumpah
Untuk Mencerai Hukumnya Haram
Seorang muslim tidak dibenarkan
menjadikan talaq sebagai sumpah untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu,
atau untuk mengancam isterinya. Misalnya ia berkata kepada isterinya: `Apabila
dia berbuat begitu, maka ia tertalaq.`Sumpah dalam Islam mempunyai redaksi
khusus, tidak boleh lain, yaitu bersumpah dengan nama Allah: Demi Allah. Sebab
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:`Barangsiapa bersumpah dengan selain asma`
Allah, maka sungguh ia berbuat syirik.` (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
Dan
sabdanya pula:
Barangsiapa
bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam.` (HR. Muslim)
4. Talaq Harus
Dijatuhkan Bertahap
Islam memberikan kepada seorang muslim
tiga talaq untuk tiga kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada
waktu suci, dan tidak disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu
sehingga habis iddah. Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan
iddah, maka dia boleh merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya
sehingga habis iddah, dia masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu dengan
aqad baru lagi. Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si
perempuan tersebut diperkenankan kawin dengan orang lain.
Kalau si laki-laki tersebut kembali
kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa
yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk
menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan
talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan di atas; dan dia
diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (karena masih dalam iddah) atau dengan
aqad baru (karena sesudah habis iddah).Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai
lagi untuk ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa
perceraian antara keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara
keduanya sudah tidak mungkin. Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan
si perempuan pun sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia
kawin dengan orang lain secara syar`i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan
untuk suaminya yang pertama tadi.
Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan
talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari
tuntunan Islam yang lurus.Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika
Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai
isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil
bersabda:Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di
tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia
berkata: Ya Rasulullah! apakah tidak saya bunuh saja orang itu!` (HR An-Nasa`i)
Kembali dengan Baik atau Melepas dengan
BaikKalau seorang suami mencerai isterinya dan iddahnya sudah hampir habis,
maka suami boleh memilih satu di antara dua:
Mungkin
dia merujuk dengan cara yang baik; yaitu dengan maksud baik dan untuk
memperbaiki, bukan dengan maksud membuat bahaya.Mungkin dia akan melepasnya
dengan cara yang baik pula; yaitu dibiarkanlah dia sampai habis iddahnya dan
sempurnalah perpisahan antara keduanya itu tanpa suatu gangguan dan tanpa
diabaikannya haknya masing-masing.
Tidak dihalalkan seorang laki-laki
merujuk isterinya sebelum habis iddah dengan maksud jahat yaitu guna
memperpanjang masa iddah; dan supaya bekas isterinya itu tidak kawin dalam
waktu cukup lama. Begitulah apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dulu.
Perbuatan jahat ini diharamkan Allah
dalam kitabNya dengan suatu uslub (gaya bahasa) yang cukup menggetarkan dada
dan mendebarkan jantung. Maka berfirmanlah Allah:
Apabila
kamu mencerai isterimu, kemudian telah sampai
pada batasnya, maka rujuklah mereka itu dengan baik atau kamu lepas
dengan baik pula; jangan kamu rujuk dia dengan maksud untuk menyusahkan
lantaran kamu akan melanggar. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia
telah berbuat zalim pada dinnya sendiri. Dan jangan kamu jadikan ayat-ayat
Allah sebagai permainan; dan ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu
dan apa yang Allah turunkan kepadamu daripada kitab dan kebijaksanaan yang
dengan itu Dia menasehati kamu. Takutlah
kepada Allah; dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 231)
Dengan
memperhatikan ayat ini, maka kita dapati di dalamnya mengandung tujuh butir
yang antara lain berisikan ultimatum, peringatan dan ancaman. Kiranya cukup
merupakan peringatan bagi orang yang berjiwa dan mau mendengarkan.
Pengertian dan
Hukum Thalak
1. Definisi
Thalak
Secara bahasa, thalak berarti pemutusan
ikatan. Sedangkan menurut istilah, thalak berarti pemutusan tali perkawinan.
B. Thalak Yang
Makruh
Thalak tanpa adanya alasan merupakan
sesuatu yang dimakruhkan.
Dari
Tsauban Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan; bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda:,"Siapa pun wanita yang meminta cerai tanpa adanya
alasan yang membolehkan, maka haram baginva bau surga.“(HR. Ahmad, Abu
Dawud,Ibnu Majah dan Tirmidzi, dimana beliau menghasankannya).
Dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, ia
berkata; bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,“Perkara halal
yang sangat dibenci Allah adalah thalak.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim, dirnana beliau menshahihkannya).
Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah
disebutkan: “Memperbanyak thalak dan kurangnya perhatian terhadap masalah
tersebut menyimpan banyak bahaya. Karena, sebagian orang akan lebih cenderung
mengutamakan nafsu syahwatnya dengan tidak berusaha mengurus rumah tangga
dengan baik serta enggan untuk saling menolong di dalam mewujudkan keakraban
dan menjaga kemaluan. Kecenderungan mereka hanyalah bersenang-senang dengan
para wanita serta mencari kenikmatan dan setiap wanita, sehingga hal itu
menjadikan mereka sering melakukan thalak dan nikah. Tidak ada perbedaan antara
mereka dengan para pezina, jika dilihat dari sisi nafsu syahwat mereka, dan
yang membedakan mereka hanyalah batasan pernikahan semata. Rasulullah telah
bersabda:Aku tidak menyukai laki-laki yang senang mencicipi wanita dan wanita
yang senang mencicipi laki-laki.“ (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Beliau
juga bersabda:
Bukan dan golongan kami orang yang
menceraikan seorang wanita dan suaminya.(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)Dan Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita meminta saudara
perempuannya untuk dithalak agar ia dapat menggantikan kedudukannya. Dan
hendaklah ia menikah (dengan orang lain) baginya apa yang telah ditentukan
untuknya.(Muttafaqun ‘Alaih)
C. Hukum Thalak
Kalau didekati dari sudut pandang hukum
Islam, sebenarnya thalak itu bisa saja hukumnya wajib, tetapi terkadang bisa
juga menjadi haram, atau juga bisa menjadi mubah dan bisa juga sunnah. Semua
tergantung dari keadaan serta situasi yang sedang dialami oleh seseorang dengan
pasangannya.
1. Thalak wajib
Thalak wajib adalah thalak yang
bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami dan isteri;
jika masing-masing melihat bahwa thalak adalah satu-satunya jalan untuk
mengakhiri perselisihan.” Demikian menurut para ulama penganut madzhab Hanbali.
Demikian pula thalak yang dilakukan oleh
suami yang mengila’ isterinya setelah diberi tangguh. Yang dimaksud dengan
"meng-ila`" isteri adalab bersumpah tidak akan mencampurinya
(menyetubuhinya). Dengan adanya sumpah
ini
seorang isteri sudah tentu akan menderita, karena ia tidak lagi disetubuhi dan
tidak pula diceraikan. Allah SWT berfirman:
Kepada orang-orang yang mengila’
isterinya diberi tangguh selama empat bulan. Kemudianjika mereka keinbali
(kepada isteri), maka se sungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan apabila mereka berazam (berketetapan hati) untuk thalak, maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Al-Baqarah: 226-227)
2.
Thalak Haram
Thalak yang diharamkan adalah thalak
yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dapat dibenarkan. Karena, hal
itu akan membawa madharat bagi diri sang suami dan juga isterinya serta tidak
memberikan kebaikan bagi keduanya. Thalak yang mubah adalah thalak yang
dilakukan karenaadanya hal yang menuntut ke arah itu, baik karena buruknya
perangai si isteri, pergaulan nya yang kurang baik atau hal-hal buruk lainnya.
3. Thalak
Sunnah
Sedangkan thalak yang disun natkan
adalah thalak yang dilakukan terhadap seorang isteri yang telah berbuat zhalim
kepada hak-hak Allah yang harus diembannya, seperti shalat dan kewajiban
kewajiban lainnya, dimana berbagai cara telah ditempuh oleh sang suami untuk
menyadarkannya, akan tetapi ia tetap tidak menghendaki perubahan.
Thalak
juga disunnahkan ketika suami isteri berada dalam perselisihan yang cukup
tegang, atau pada suatu keadaan dimana dengan thalak itu salah satu dan
keduanya akan terselamatkan dan bahaya yang mengancam.
Dengan turunnya ayat jul. maka seteiah
empat bulan sang suami harus memilih antarakembali rnenyetubuhi isterinya
dengan mernbayar kafarat sumpah atau menceraikannya.
4. Thalak Mubah
Thalak diperbolehkan (mubah) jika untuk
menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun
isteri. Allah SWT berfirman:
Thalak
(yang dapat dirujuk) adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan
cara yang ma ‘ruf (baik) atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al-Baqarah:
229)
Dalam
surat yang lain Allah berfirman:
Wahai Nabi, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) masa ‘iddahnya (yang wajar)’).(Al-Thalaq: 1)Rasulullah pernah
mengatakan kepada seseorang yang mengeluh kepadanya karena perlakuan yang
menyakitkan dan isteninya:kanlah ia.” (HR. Abu Dawud, sebagai hadits shahih)
Macam-macam
Thalak
Selanjutnya
akan kami uraikan satu per satu dan macam-macam di antaranya:
a. Thalak Sunni
Thalak
sunni adalah thalak yang didasarkan pada sunnat Nabi, yaitu apa seorang suami
menthalak isterinya yang telah disetubuhi dengan thalak satu pada saat suci,
sebelum disetubuhi. Allah SWT befirman:
Thalak
yang dapat dirujuk adalah dua kali. Setelah itu, boleh kembali dengan cara yang
baik atau menceraikan dengan cara yang baik (Al-Baqarah: 229)
Pada
surat yang lain Allah juga berfirman: Wahai Nabi, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
menghadapi yang wajar. (AI-Thalaq: 1)
Dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu,
ia berkata; bahwa ia pernah menceraikan isterinya ketika sedang haid.
Lalu
Umar bin Khaththab bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengani
hal itu? Beliau SAW menjawab:"Perintahkan ia (Abdulah bin Umar) untuk
rujuk kembali. Setelah itu, hendakiah menthalak isterinya dalam keadaan suci
atau dalam keadaan hamil." (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
menurut penda- pat Al-Khuthabi dan
kelompok Al-Khawarij dan Rawafidh.
Tidak
ada yang menentang hal itu kecuali ahlul bid’ah dan orang-orang sesat, demikian
menurut Ibnu Abdil Barr. Pendapat senada, juga disampaikan dan sebagian tabi’in
dan
diceritakan
pula oleh Ibnu Arabi serta lainnya dan Ibrahim Ibnu Aliyah, dimana mengenai
dirinya Imam Syafi’i mengatakan: “Ibra- him Ibnu Aliyah itu adalah orang sesat
yang menyesatkan orang banyak.”Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini
berstatus hasan shahih. Para ulama dan kalangan sahabat Rasulullah dan ulama
lainnya juga menjalankan hadits ini. Sedangkan sebagian ulama yang lain
berpendapat:“Jika si suami menthalak tiga, sedang isterinya dalarn keadaan
suci, maka yang demikian itu juga termasuk thalak sunni.” Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Imam Syafi’ i dan Ahmad bin Hanbal.
Adapun
Sufyan Ats-Tsauri dan Ishaq berpendapat: “Thalak tiga bukan termasuk thalak
sunni, kecuali jika thalak tiga itu dilakukan satu-satu hingga mencapai tiga.”
Sebagian ulama yang lain berpendapat: “Disebut sebagai thalak sunni apabila
suami menthalak isterinya pada setiap bulannya satu kali dengan thalak satu.”
Dari
Anas bin Sirin, ia menceritakan: “Ibnu Umar pernah menthalak isterinya ketika
sedang menjalani masa haid. Lalu Umar menuturkan ha! itu kepada Nabi dan beliau
berkata: Hendaklah ia rujuk kembali. Ia (Umar) bertanya: Apakah thalak tersebut
masuk hitungan? Beliau menjawab: Ya.” (HR. Bukhari)
Dari
Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Umar, ia menuturkan, bahwa thalak terse- but
dihitung sebagai thalak satu.”
Sedangkan
Imam Nawawi menyatakan, bah- wa sebagian dan ahli zhahir berpendapat: “Apabila
seorang suami menthalak isterinya dalam keadaan haid, maka thalak tersebut
tidak sah. Karena tidak diizinkan baginya pada saat menthalaknya, sehingga
menyerupai thalak yang dilakukan terhadap wanita yang bukan isterinya.” Demikian
pula 151
b. Thalak Bid’i
Mengenai
thalak bid’i ini ada beberapa macam keadaan, yang mana seluruh ulama telah
sepakat menyatakan, bahwa thalak semacam ini hukumnya haram. Jumhur ulama
berpendapat, bahwa thalak ini tidak berlaku. Thalak bid’ah ini jelas
bertentangan dengan syari’at. Yang bentuknya ada beberapa macam,yaitu:
1. Apabila seorang suami menceraikan
isterinya ketika sedang dalam keadaan haid atau nifas.
2. Ketika dalam keadaan suci, sedang ia
telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
3. Seorang suami menthalak tiga isterinya
dengan satu kalimat dengan tiga kalimat dalam sam waktu. Seperti dengan
mengatakan, “Ia telah aku thalak, lalu aku thalak dan selanjutnya aku thalak.”
Dalil yang melandasinya adalah sabda Rasulullah, sebagaimana diceritakan;
bahwasanya ada seorang laki- laki yang menthalak tiga isterinya dengan sam
kalimat. Lalu beliau menga- takan kepadanya: “Apakah Kitab Allah hendak
dipermainkan, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?” (HR. An-Nasa’i
dan Ibnu Katsir mengatakan, bahwa isnad hadits inijayyid).
c. Thalak Ba‘in
Dalam
thalak ba’ in ini seorang suami masih mempunyai hak untuk menikah kembali
dengan isteri yang dithalaknya. Dengan thalak ini seorang suami berkedudukan
seperti seorang yang melamar wanita. Yaitu, jika menghendaki wanita tersebut
akan menerimanya melalui penyerahan mahar atau melalui proses akad nikah.
Sebaliknya, jika menghendaki, ia juga boleh menolaknya. Dalarn thalak ini tidak
ada perbedaan antara lafazh yang diucapkan secara jelas mau- pun melalui
sindiran.
Thalak
ba’in ini mempunyai lima bentuk, yaitu:
1. Pertama, suami menthalak isterinya dengan
memberikan imbalan uang kepadanya.
2. Kedua, menthalaknya sebelum
berhubunganbadan dengannya. Wanita yang dicerai kan sebelum berhubungan badan,
maka ia tidak berkewajiban menjalani masa ‘iddah.
3. Ketiga, seorang suami menthalak tiga
isterinya dengan satu kalimat atau satu-satu dalam satu majelis atau telah
menthalaknya sebanyak dua kali sebe- lum thalak yang ketiga, maka yang demikian
itu telah termasuk sebagai thalak ba’in kubra (berat). Sehingga tidak
diperbolehkan baginya menikah dengan wanita tersebut, sampai isterinya menikah
dengan laki-laki lain.
4. Keempat, apabila suami menthalaknya
dengan thalak raj‘i, kemudian suami meninggalkannya dan tidak kembali hingga
habis masa ‘iddah isterinya, maka dengan berakhirnya masa ‘iddah tersebut Si
suami telah melakukan thalak ba’in.
5. Kelima, apabila dua orang hakim
memutuskan thalak ba’ in ini ketika keduanya memandang, bahwa thalak adalah
lebih baik daripada melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka.
d. Thalak Raj‘i
Thalak
raj‘i
adalah thalak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya yang telah ia
setubuhi. Yaitu, thalak yang terlepas dan segala yang berkaitan dengan
pergantian uang serta belum didahului dengan adanya thalak sama sekali atau
telah didahului oleh adanya thalak satu. Dalam hal ini seorang suami masih
mempunyai hak untuk kembali kepada isterinya, meskipun tanpa ada keridhaan
darinya.
Sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:
“Dan
suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) tersebut menghendaki islah.“(Al-Baqarah: 228)
Thalak
raj‘i
adalah thalak dua atau satu yang dilakukan terhadap isteri yang telah digauli,
tanpa menggunakan iwadh (tebusan). Isteri yang dithalak raj‘i mempunyai hukum
yang sama seperti hukum yang berlaku pada seorang isteri dalam pemberian
nafkah, tempat tinggal atau yang lainnya seperti ketika belum dithalak, sehingga
berakhir masa ‘iddahnya.
Jika masa ‘iddahnya telah berakhir dan
suami belum merujuknya, maka dengan demikian telah terjadi thalak ba’in
terhadapnya. Jika suami hendak merujuknya, maka cukup baginya mengucapkan: “Aku
telah merujukmu kembali.” Dan disunnatkan pada saat rujuk tersebut menghadirkan
dua orang saksi yang adil.
e. Thalak Sharih
Yaitu
thalak dimana suami tidak lagi membutuhkan adanya niat, akan tetapi cukup
dengan mengucapkan kata thalak secara sharih (tegas). Seperti dengan
mengucapkan: “Aku cerai,” atau “Kamu telah aku cerai”.
f. Thalak
Sindiran
Yaitu thalak yang memerlukan adanya fiat pada din suami. Karena, kata- kata
yang diucapkan tidak menunjukkan pengertian thalak. Hal ini didasarkan pada
hadits riwayat dan Aisyah Radhiyallahu Anha:
“Bahwa
ketika puteri Jaun dihadapkan kepada Rasululullah dan beliau mendekatkan
diripadanya, maka ia (puteri Jaun) pun berkata: Aku ber lindung kepada Allah
darimu. Lalu beliau SAW bersabda,"Sesungguhnya engkau telah berlindung
kepada Dzat Yang Maha Agung, maka kembalilah ke keluargamu.“ (HR. Bukhari dan
lainnya)
Dalam
kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya disebutkan hadits
tentang Ka’ab bin Malik yang tidak mau bergabung dalam peperangan, yaitu ketika
ada orang yang berkata kepadanya: “Bahwa Rasulullah menyuruh kamu menjauhi
isterimu. Ka’ab bertanya: Aku ceraikan atau apa yang hams aku lakukan? Orang
itu menjawab: Jauhi saja dan jangan sekali-kali kamu dekati. Maka Ka’ab
melanjutkan ceritanya: Lalu kukatakan kepada isteriku: Pulanglah kepada
keluargamu” (Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua
hadits di atas menunjukkan, bahwa kata-kata yang diucapkan berarti thalak,
seiring dengan niat yang ada pada diri suami dan tidak berarti thalak jika
tidak diikuti dengan adanya niat.
g. Thalak Munjaz
dan Mu ‘allaq
Thalak munjaz adalah thalak yang
diberlakukan terhadap isteri tanpa adanya penangguhan. Misalnya seorang suami
mengatakan kepada isterinya: “Kamu telah dicerai.” Maka isteri telah dithalak
dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.
Sedangkan
thalak mu’allaq adalah thalak yang digantungkan oleh suami dengan suatu
perbuatan yang akan dilakukan oleh isterinya pada masa mendatang. Seperti suami
mengatakan kepada isterinya: “Jika kamu berangkat kerja, berarti kamu telah
dithalak.” Maka thalak tersebut berlaku sah dengan keberangkatan isterinya
untuk kerja.
h. Thalak
Takhyir dan Tamlik
Thalak takhyir adalah dua pilihan yang
diajukan oleh suami kepada isterinya, yaitu melanjutkan rumah tangga atau
bercerai. Jika si isteri memilih bercerai, maka berarti ia telah dithalak.
Sedangkan thalak tamlik adalah thalak dimana seorang suami mengatakan kepada
isterinya: “Aku serahkan urusanmu kepadamu.” Atau “Urusanmu berada di tanganmu
send in.” Jika dengan ucap- an itu si isteri mengatakan “Berarti aku telah
dithalak”, maka berarti ia telah dithalak satu raj ‘i. Imam Malik dan sebagian
ulama Iainnya berpendapat, bahwa apabila isteri yang telah diserahi tersebut
menjawab, “Aku memilih thalaq tiga”, maka ia telah dithalak ba’in oleh
suaminya. Dengan thalak tiga maka si suami tidak boleh ruju’ kepadanya, kecuali
setelah mantan isteri dinikahi oleh laki-laki lain.
i.
Thalak dengan Pengharaman
Terjadi perbedaan pendapat yang cukup
serius di kalangan para ulama salaf mengenai masalah ini, hingga terdapat
sekitar delapan belas pendapat. Yang demikian itu karena tidak adanya nash yang
jelas, baik dan Al-Quran maupun Sunnah. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa pendapat dan
kedelapan belas pendapat tersebut.Misalnya, seorang suami mengatakan kepada
isteninya:
“Kamu haram bagiku.” Jika dengan ucapan
tersebut ia berniat sebagai thalak, maka berlakulah thalak baginya. Sedang
apabila ucapan tersebut diniati sebagai zhihar, maka zhiharlah yang berlaku,
yang karenanya mewajibkan adanya pembayaran kaffarat rat zhihar.
Demikian pula apabila dengan ucapan
tersebut dimaksudkan sebagai sumpah, seperti suami mengatakan: “Kamu haram
bagiku jika kamu melakukan ini (sesuatu yang telah ditetapkan oleh suami).”
Jika si isteri melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat saja dan tidak
ada kewajiban lainnya.
Dan
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan:
“Jika seorang suami mengharamkan
isterinya (untuknya), maka yang demikian itu sebagai sumpah yang mewajibkan
pembayaran kafarat karenanya. Selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya pada diri
Rasulullah terdapat sun tauladan yang baik bagi kalian.” (Muttafaqun‘Alaih)
Masih dari Ibnu Abbas, ia menceritakan,
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah didatangi oleh seorang
laki-laki seraya mengatakan: “Sesungguhnya aku telah mengharamkan isteriku bagi
diriku. Maka beliau berkata:
“Kamu telah berdusta, karena ia tidaklah
diharamkan bagimu. Kemudian beliau membacakan ayat pertama dan surat At-Tahrim.
Lalu beliau berkata: Engkau berkewajiban membayar kafarat yang cukup berat,
yaitu memendeka- kan budak” (HR. Nasa’i).
Dan Anas Radhiyallahu Anhu, ia
menceritakan: “Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihissallam mempunyai seorang
budak perempuan yang beliau gauli, sedangkan Aisyah dan Hafshah masih bersama
beliau. Kemudian beliau mengharamkannya (budak perempuan tersebut) bagi dirinya.
Maka Allah menurunkan firman-Nya pada surat At-Tahrim ayat 1: “Wahai Nabi,
mengapa engkau mengharainkan apa-apa yang Allah telah men ghalal- kannya
bagimu.“(HR. Nasa’i)
j. Thalak
Wakalah dan Kitabah
Jika seorang suami mewakilkan kepada
seseorang untuk menthalak iste- rinya atau menuliskan surat kepada isterinya
yang memberitahukan perihal per- ceraiannya, lalu isterinya menerima hal itu,
maka ia telah dithalak.
Mengenai
masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Karena, perwa- kilan
dalam thalak itu diperbolehkan. Sedangkan pada tulisan menduduki po- sisi
ucapan, ketika suami tidak dapat hadir atau menghadap isterinya secara
langsung.
k. Thalak Haram
Yaitu apabila suami menthalak tiga
isterinya dalam satu kalimat. Atau menthalak dalam tiga kalimat, akan tetapi
dalam satu majelis. Seperti jika suami mengatakan kepada isterinya: “Kamu
dithalak tiga.” Atau mengatakan kepa danya: “Kamu aku thalak, thalak, dan
thalak.” Menurut ijma’ ularna, thalak Se macam ini jelas diharamkan. Dalil yang
melandasinya adalah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai
seorang laki-laki yang menthalak tiga isterinya dalam satu kalimat. Lalu beliau
berdiri dan marah seraya mengata kan: “Apakah Kitab Allah hendak dipermainkan,
sedang aku rnasih berada di tengah-tengah kalian?” Hingga ada seseorang yang
berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku membunuhnya.” (HR.
Nasa’i)
Menurut jumhur ulama, termasuk Imam
Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Syafi’i, bahwa mantan isterinya itu
tidak boleh ia nikahi sehingga telah dinikahi oleh laki-laki lain. Berbeda
dengan para ulama terse but, ada pula pendapat yang menganggapnya sebagai
thalak satu ba’in atau, raj‘i.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan
oleh adanya perbedaan dalil danjuga karena pemahaman mereka terhadap nash-nash
yang ada.
Lafaz Thalaq
I. Jatuhnya
Talaq
Yang menjatuhkan talaq itu bukanlah
surat menyurat resmi dari penguasa, pengadilan atau hakim. Namun yang
menjatuhkan talaq itu adalah pernyataan dari phak suami kepada istrinya.
Pernyataan ini diungkapkan pada dasarnya dengan sebuah lafadz. Sebagaimana akad
nikah juga ditetapkan dengan lafadz ijab dan kabul, maka putusnya hubungan
suami istri pun ditetapkan dengan sebuah lafadz yang diucapkan.
Sedangkan pengesahan secara hukum formal
negara lewat pengadilan agama, bukanlah rujukan dalam penetapan sebuah
perceraian. Apalagi surat perceraian itu sendiri biasanya baru didapat setelah
dilaluinya sidang pengadilan.
Padahal
secara syariah Islam, begitu seorang suami mengucapkan lafadz talaq, saat itu
dan detik itu juga sudah jatuh talaqnya.
II. Lafadz Talaq
Lafaz
cerai itu ada dua macam :
1.
Lafaz yang sharih (jelas/eksplisit).
Lafaz
yang sharih misalnya,"Aku ceraikan kamu". Atau "Perinkahan kita
sudah selesai" dan lainnya. Bila lafaz itu diucapkan oleh seorang suami
kepada istrinya, maka jatuhlah talaq satu. Bahkan meski itu dilakukan dengan
main-main.
2.
Lafaz yang majazi (tidak jelas/implisit).
Lafaz
tidak sharih adalah lafaz yang bisa bermakna ganda. Misalnya adalah apa yang
anda sebutkan di atas. Lafaz ini baru bisa mengandung hukum bila disesuaikan
dengan niatnya atau 'urf (kebiasaan) yang umumnya disepakati di suatu
masyarakat. Misalnya, kata-kata,"pulanglah ke rumah orang tuamu".
Apakah lafaz ini berarti thalaq atau
bukan?.
Jawabannya tergantung niat atau kebiasaan
yang terjadi di masyarakat. Bila kebiasaannya lafaz itu yang digunakan untuk
mencerai istri, maka jatuhlah thalak itu. Bila tidak, maka tidak. Begitu juga
dengan niat, apakah ketika mengucapkan itu dia berniat menceraikan atau tidak?
Sedangkan talaq tiga itu tidak terjadi
sebelum jatuhnya talak satu dan dua. Memang ada sebagian ulama yang mengatakan
talaq tiga bisa dijatuhkan sekaligus, namun pendapat yang kuat mengatakan bahwa
thalaq itu jatuhnya satu persatu. Bila sekali menthalaq istri, maka jatuhlah
thalaq satu. Selama masa waktu tiga kali masa suci dari haidh. Bila selama itu
terjadi rujuk yang bentuknya bisa dengan lafaz atau bisa juga dengan perbuatan
langsung, maka ruju' telah terjadi dan masih tersisa dua thalaq untuk sampai ke
tahalq tiga.Selama masa iddah itu, maka istri masih merupakan hak suami untuk
merujuknya dan dia tidak boleh menerima lamaran dari orang lain apalagi menikah
dengan orang lain.
Namun bila masa iddah telah habis, bila
ingin kembali harus dengan akad nikah baru lagi dengan lamaran dan mahar baru.
Barulah bila sudah dua kali kejadian yang sama, jatuhlah thalaq dua. Ini adalah
batas terakhir bisa rujuk. Bila menjatuhkan lagi thalaq, maka jatuhlah thalaq
tiga yang dengan ini putuslah hubungan suami istri tanpa ada masa iddah atau
masa rujuk. Bahkan untuk menikah dari baru pun sudah tidak boleh. Kecuali bila
ada laki-laki lain yang menikahinya dengan nikah yang sah dan sesuai syariah,
bukan sekedar menjadi muhallil saja. Bila suatu hari istri dicerai oleh suami
barunya itu atau ditinggal mati, barulah boleh suami yang lama itu kembali
menikahinya.
'Iddah
A. Defenisi
‘Iddah
'Iddah adalah masa
dimana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak
diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk
menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah. Setelah
datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at
karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini
yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita
yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’.
(Al-Baqarah: 228)
Lama masa quru` diada dua pendapat.
Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah SAW“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.
“(HR. Ibnu Majah)
Demikian
pula sabda beliau yang lain:“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR. Abu
Dawud dan Nasa’i)
B. Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib bagi seorang isteri yang
dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kernatian maupun cerai karena faktor
lain. Dalil yang menjadi landasan nya adalah firman Allah SWT:
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri
itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah:
234)
Dan
firman-Nya yang lain:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan
mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak Wajib atas mere ka
‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“ (A1-Ahzab:
49)
Yang dimaksud dengan “mut’ah” di sini
adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri.
C. Hikmah
Disyari‘atkannya ‘Iddah
Memberikan
kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada ke hidupan rumah tangga,
apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
Untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang dicerai kan. Untuk
selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi
jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
Agar isteri yang diceraikan dapat ikut
merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya danjuga anak-anak mereka
serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh
kematian suami.
D. Macam-Macam
‘Iddah
1.
‘Iddah bagi isteri yang dithalak dan sedang menjalani masa haid. ‘iddah yang
harus dijalani adalah tiga kali masa haid. Hal in! didasarkan pada firman Allah
SWT di dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
2.
‘Iddah bagi isteri yang dithalak dan sudah tidak menjalani masa haid lagi
(monopause) juga tiga bu!an. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan oleh
Allah Azza wa Jalla:
“Wanita-wanita yang tidak haid lagi
(monopause) di antara wanita-wanita kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa
‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adaiah tiga bulan. Begitupula wanita-wanita yang
tidak haid.” (At-Thalaq: 4)
3.
Demikian juga dengan ‘iddahnya isteri yang masih kecil yang belum menjalani
masa haid.
4.
‘Iddah bagi isteri yang sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla
Perempuan-perempuan
yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (At-Thalaq 4)
5. ‘Iddah isteri yang ditinggal mati suaminya,
yaitu empat bulan 10 hari, jika ia tidak sedang hamil. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT: ng-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan diri (ber
‘iddah) selama empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
6.
‘Iddah wanita yang sedang menjalani istihadhah; apabila mempunyai hari-hari
dimana ia biasa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa
haid dan masa sucinya tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid,
maka selesailah sudah masa ‘iddahnya.
7.
‘Iddah isteri yang sedang menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yang
diketahui maupun tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya
penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus
menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa ‘iddahnya sesuai
dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebalik nya jika
disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani ‘iddahnya
selama satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa hamil- nya dan
tiga bulan untuk menjalani masa ‘iddahnya.
8.
‘Iddah wanita yang belum disetubuhi. Allah Azza wa Jalla befirman:
“Wahal orang-orang yang beniman, apabila
kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan
mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
menjalani masa ‘iddah bagi kalian yang kalian minta untuk menyempurnakannya.
Maka berilah mereka mut’ah5~ dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya.“(AI-Ahzab: 49)
Dan ayat ini dapat diambil dalil, bahwa
seorang Isteri muslimah yang belum digauli suaminya tidak mempunyai kewajiban
menjalani masa ‘iddah. Akan tetapi, jika suaminya meninggal sebelum ia
menggauli isterinya, maka isteri yang diceraikannya itu harus menjalani ‘iddah
sebagaimanajika suaminya telah menggaulinya.
E. Larangan Bagi
Wanita Yang Sedang Menjalani Masa ‘Iddah.
Diantara
yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah :
1. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran)
dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
2. Tidak boleh menikah
3. Tidak boleh keluar rumah
4. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
Seorang wanita yang sedang dalam masa
iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan diantara kategori
berhias itu antara lain adalah :
*
Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
*
Menggunakan parfum atau wewangiannakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama
yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
*
Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna
lainnya.
*
Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah
dan kuning.
Di dalam Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq
mengatakan:
“Isteri
yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumah dimana ia
dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa ‘iddahnya dan tidak
diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut.
Sedangkan suaminya juga tidak
diperbolehkan untuk mengeluarkannya ia dari rumahnya. Seandainya terjadi perceraian
di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah dimana mereka
berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada
suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.
Sebagaimana
disebutkan di dalam firman Allah SWT pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.”
Apabila isteri yang dithalak itu
melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang
tidakbaik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya
dari rumah tersebut, demikian menu rut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga
ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan,
Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; dimana Aisyah sendiri pernah
mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan
rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah
bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
F. Perbedaan Pendapat Mengenai Keluarnya
Isteri Pada Masa ‘Iddah.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai
keluarnya isteri yang dithalak dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya.
Para ulama penganut madzhab Hanafi berpendapat, bahwasanya tidak diperbolehkan
bagi seorang isteri yang dithalak raj’i maupun ba’in keluar dan rumah pada
siang maupun malam hari. Sedangkan bagi isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya boleh keluar pada siang hari dan sore hari.
Ulama penganut madzhab Hanbali
membolehkannya keluar pada siang hari, baik karena dithalak maupun ditinggal
mati suaminya. Sedang- kan Ibnu Qudamah berpendapat: “Bagi isteri yang sedang
menjalani masa ‘iddah boleh keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya pada siang
han, baik itu karena dithalak maupun karena ditinggal mati oleh suaminya.”
Khulu'
A. Pengertian
Khulu’
Khulu’
adalah tebusan yang dibayar oleh seorang isteri kepada suami yang membencinya,
agar ia (suami) dapat menceraikannya. Allah SWT befirman:“Mereka
(isteri-isteri) adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi
mereka. (Al-Baqarah: 187)
B. Hukum Khulu’
Khulu’
diperbolehkan jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah diten tukan. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada isteri Tsabit bin Qais
ketika ia dating kepada beiiau untuk menuturkan perihal suaminya:
Wahai Rasulullah, aku tidak mencela
suamiku baik dalam hal akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran
setelah (memeluk) Islam. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Apakah engkau ber sedia mengembalikan kebun yang menjadi maharnya? Jamilah
(isteri Tsabit) menjawab: “Ya, aku bersedia. Lalu beliau berkata kepada Tsabit,
Terimnalah (wahai Tsabit) kebun itu dan ceraikanlah isterimu” (HR. Bukhari).
Para ulama telah sepakat mengenai
pensyari’atan khulu’ ini, kecuali Bakar bin Abdullah bin Muzni At-Tabi’i,
dimana ia mengatakan: “Tidak diperbolehkan bagi seorang suami mengambil harta
milik isterinya sebagai tebusan atas thalak yang dilakukan terhadapnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya, “Janganlah kalian mengambil
kembali sedikit pun darinya.“Akan tetapi, para ulama yang lain mengemukakan
dalil Al-Qur’an kepada Bakar bin Abdullah bin Muzni: “Maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran (tebusan) yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Lalu Bakar mengklaim, bahwa ayat ini telah dinasakh oleh surat
An-Nisa’ ayat ke-20 yang ia sampaikan.
C. Bagaimana
Thalak dalam Khulu’?
Apakah thalak telah jatuh hanya dengan adanya
khulu’ ataukah tidak jatuh sehingga suami menyebutkan lafazh thalak tersebut,
baik dengan kata-kata maupun hanya dengan fiat saja? Jika terjadi khulu’ yang
lepas dan thalak, baik secara lisan maupun niat, maka ada tiga pendapat.
1.
Pertama,
Pendapat yang sering dikemukakan di
dalam kitab Imam Syafi’i yang baru, yaitu bahwa khulu’ termasuk thalak. ini juga
merupakan pendapat dan jumhur ulama. Imam Syafi’I telah menetapkan dalam
kitabnya Al-Imla’, bahwa khulu’ termasuk thalak sharih. Hujjahjumhur ulama
dalam hal ini adalah, bahwa lafazh khulu’ itu hanya dimiliki oleh suami saja,
sehingga
merupakan
thalak.
Seandainya khulu’ itu dianggap sebagai fasakh
(batal), niscaya tidak akan boleh menggambil harta pemberian selain mahar. Akan
tetapi, jumhur ulama membolehkan pengambilan harta selain mahar, baik dalam jumlah
sedikit maupun banyak. Dengan demikian hal itu menunjukkan, bahwa khulu’
Sesungguhnya merupakan thalak.
2.
Kedua,
pendapat Imam Syafi’i yang disebutkan
dalam kitab Ahkamul Qur’an. Yaitu, bahwa khulu’ merupakan fasakh dan bukan
thalak. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan Abdurrazak dan
Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Pendapat yang terakhir ini ditentang oleh Ismail
Al-Qadhi, dimana ia menyebutkan; bahwa seorang suami yang menyerahkan urusan
isterinya kepadanya (isteri) dan berniat untuk menthalaknya, lalu si isteri
tersebut menganggap sebagai thalak, maka ia telah dithalak.
Selanjutnya Ismail Al-Qadhi menyebutkan,
bahwa titik perbedaan pendapat itu terletak pada khulu’ yang jatuh tanpa
melalui ucapan dan juga niat thalak. Sedangkan khulu’ yang dijatuhkan melalui
ucapan yang sharih (jelas) atau hanya dengan niat saja, maka khulu’ semacam ini
bukan lagi sebagai fasakh melainkan thalak.
Dinukil oleh Al-Khawarazami dan pendapat
terdahulu, dimana ia menyebutkan: “Khulu’ seperti itu merupakanfasakh yang
tidak mengurangi jumlah thalak, kecualijika diniati sebagai thalak.” Untuk
memperkuat pendapat Imam Syafi’i di atas, disebutkan; bahwa Imam Ath-Thahawi
pernah menukil ijma’ yang rnenyebutkan:
“Apabila dengan khulu’ seorang suami
berniat menthalak isterinya, maka dianggap terjadi thalak tersebut.”
Menurutnya, perbedaan pendapat itu terjadi pada khuhi’ yang tidak diucapkan
secara sharih dan tidak disertai dengan adanya niat.
3.
Ketiga
Jika tidak diniati untuk menthalak, maka
dalam hal ini tidak dianggap sama sekali. Pendapat ini telah ditetapkan oleh
Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Umm dan diperkuat oleh Al-Subki serta oleh
Muhammad bin Nashir Al- Marwazi
di dalam kitabnya “Ikhtilafil Ulaina “, yang mana ini merupakan pendapat
terakhir Imam Syafi’i.
D. Syarat-syarat
Khulu’
1.
Seorang isteri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’, jika tampak
adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan rnenegakkan
hukum Allah SWT.
2.
Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan
penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya. Jika ia
menyakiti isterinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.
3.
Khulu’ itu berasal dan isteri dan bukan dan pihak suami. Jika suami yang merasa
tidak senang hidup bersama dengan isterinya, maka suami tidak berhak mengambil
sedikit pun harta dan isterinya.
4.
Khulu’ sebagai thalak ba’in, sehingga suami tidak diperbolehkan merujuknya
kembali, kecuali setelah mantan isterinya menikah dengan laki-laki lain dan
kemudian melalui proses akad nikah yang baru.
E. Beberapa
Hukum Yang Berkenaan dengan Khulu’
1.
Disunnatkan bagi suami untuk tidak mengambil harta isteri melebihi jumlah mahar
yang telah diberikan kepadanya.
2.
Jika khulu’ tersebut hanya sebagai lafazh khulu’ semata, maka isteri hants
menunggu dalam satu masa haid berlalu.
3.
Jika khulu’ itu sebagai thalak, maka menurut jumhur ulama, isteri yang dikhulu’
harus menjalani masa ‘iddahnya selama tiga kali quru’.
4.
Suami yang melakukan khulu’ tidak diperbolehkan merujuk isterinya pada saat ia
tengah menjalani masa ‘iddahnya.
5.
Diperbolehkan bagi wali seorang wanita yang masih kecil untuk mewa- kilinya
sebagai peminta khulu’ dan suaminya, jika sang wali melihat adanya bahaya yang mengancam
wanita tersebut.
F. Khulu’
Menjadikan Semua Urusan Isteri Berada di Tangannya.
Jumhur ulama berpendapat, di antaranya
adalah empat imam, apabila seorang suami menerima khulu’ yang diajukan oleh isterinya,
maka isterinya telah berkuasa atas dirinya sendiri dan segala urusannya berada
di tangannya.
Sedangkan bagi sang suami tidak
diperbolehkan merujuknya Karena ia (isteri) memberikan tebusan kepadanya agar
dapat melepaskan din dan urusan suaminya dan merasa takut untuk tidak dapat
menegakkan hukum Allah SWT.
Seandainya seorang suami masih mempunyai
hak untuk rujuk kepadanya, maka tidak perlu bagi isterinya tersebut untuk
memberikan tebusan kepadanya. Begitu pula seandainya suami tersebut mengembalikan
apa yang telah diambil dan isterinya dan si isteri mau menerimanya, maka sang
suami tidak boleh merujuknya ketika masih menjalani masa ‘iddah. Karena, isterinya
itu telah dithalak ba’in dengan penerimaan khulu’nya.
Diriwayatkan dan Sa’id bin Musayyab dan
Al-Zuhri: “Jika menghendaki, ia boleh merujuk kembali. Akan tetapi, hendaklah
mengembalikan apa yang telah ia ambil dari isterinya dan rnenghadirkan saksi
pada proses rujuk tersebut.”
G. Khulu’ Pada
Masa Suci dan Haid.
Khulu’ itu diperbolehkan baik pada masa
suci maupun ketika haid. Khulu’ tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dan itu,
khulu’ boleh diLakukan kapan saja. Sedangkan yang dilarang pada masa haid
adalah thalak. Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila hal itu bersifat umum dan juga
bersifat khusus, maka yang berlaku adaLah yang bersifat umum.”
Sedangkan mengenai hal ini Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri tidak memberikan rincian, apakah Ia itu
termasuk dalam keadaan haid atau tidak?H. Mengambil Seluruh Pemberian Isteri
dalam Khulu’Az-Zuhri mengatakan: “Tidakdiperbolehkan bagi suami mengambil harta
melebihi apa yang telah diberikan kepadanya.” Sedangkan Maimun bin Mahran
mengatakan:
“Barangsiapa mengambil harta kekayaan
isterinya melebihi dan apa yang telah diberikan kepadanya, maka ia tidak menthalaknya
dengan cara yang baik.” Sementara itu, para hakim tidak membolehkan seorang
suami mengambil harta dan isterinya kecuali apa yang telah diberikan kepadanya,
demikian menurut Al-Auza’i.
Ada pula pendapat golongan yang
memakruhkan hal itu. Di antara mereka adaLah Al-Hakam bin ‘Uyainah, Hammad bin
Abi Sulaiman, dan Amir Asy- Sya’abi. Sedangkan sekelompok ulama berpendapat,
“Dimakruhkan bagi suami mengambil dan isterinya seluruh apa yang telah
diberikan kepadanya.”
Dari Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib,
ia menceritakan; bahwa Rubai’ binti Mu’awwidz bin Afra’ memberitahukan
kepadanya bahwa ia telah berkhulu’ (menebus din) dan suaminya, yaitu dengan
menyerahkan seluruh apa yang ia miliki. Maka Muhammad bin Aqil melaporkan hal
itu kepada Utsrnan bin Affan, dan beliau pun membolehkannya. Akan tetapi,
beliau memerintahkannya untuk mengambil harta (modal) pokok saja dan tidak pada
yang lainnya. (Muttafaqun ‘Alaih)
Juga dan Ibnu Umar, dimana ia pernah
didatangi oleh bekas budak iste- rinya yang menebus din dengan segala apa yang
ia miliki, termasuk baju dan kain penutup mukanya (cadar). (HR. Tirrnidzi)
Ini merupakan penclapat Imam Malik, Imam
Syafi’i, Abu Sulaiman dan para sahabat mereka. Adapun Abu Hanifah berpendapat:
“Tidak diperbolehkan bagi seorang suami mengambil tebusan dan isterinya
melebihi dan apa yang telah diberikan. Jika ia melakukan hal itu, maka
hendaklah ia mensedekahkan kelebihan yang ia ambil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar